INILAH.COM, Jakarta - Penguatan yang terjadi sejak Selasa (25/1), tidak menjamin indeks akan terus berada di jalur hijau. Pengalaman yang terjadi di 2005, bukan mustahil akan terjadi lagi.
Hari-hari ini, perhatian investor tersita pada pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Mereka berharap-harap cemas seraya bertanya-tanya, apakah pasar saham mulai mengalami reversal atau belum? Sikap meragu itu menunjukkan bahwa penguatan indeks yang berlangsung sejak kemarin belum membuat pelaku pasar pede untuk melakukan koleksi.
Adadua alasan yang mendasari muculnya sikap tersebut. Pertama, kendati telah menguat secara signifikan, IHSG belum menyentuh level psikologis yang diekspektasikan pasar. Seperti diketahui, sejumlah analis dan kepala riset, belum lama ini menyatakan tanda-tanda bullish, salah satunya terlihat jika indeks berhasil menembus level 3.550 selama beberapa hari.
Alasan lain yang tak kalah penting, tingginya tingkat inflasi tetap menjadi ancaman yang tidak bisa diremehkan. Untuk sementara, memang, persoalan ini bisa diatasi dengan dinaikkannya tingkat bunga acuan. Misalnya kalau jadi, awal Februari ini, otoritas moneter mengerek BI rate ke level 7% atau di atas tingkat inflasi yang 6,94%.
Namun, langkah ini juga memicu munculnya sejumlah dampak negatif terhadap bursa saham kendati naiknya suku bunga bunga akan mengundang investor asing lebih bersemangat untuk menyerbu surat-surat berharga seperti Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Selain itu, peningkatan tingkat bunga juga akan mengganggu bisnis sektor riil. Ini jelas berkaitan dengan usaha para emiten. Terutama perusahaan yang sensitif terhadap pergerakan bunga, seperti perbankan, properti dan otomotif.
Inflasi semakin dikhawatirkan ketika pemerintah memotong subsidi BBM, Maret mendatang. Walau aturan pemakaian BBM bersubsidi ini, untuk sementara hanya akan diterapkan di Jakarta dan sekitarnya, dampak negatifnya terhadap inflasi tetap besar.
Pengalaman di 2005, ketika Pemerintah SBY menaikkan harga BBM hingga dua kali bisa dijadikan cermin. Waktu itu, inflasi naik gila-gilaan, tingkat suku bunga pun langsung menyundul langit. Ujung-ujungnya, pasar saham pun banyak ditinggalkan investor.
“Makanya, jangan heran kalau koreksi yang cukup dalam masih akan terjadi hingga Maret mendatang,” kata seorang kepala riset di sebuah sekuritas asing. Ia memprediksikan, dalam rentang sebulan ke depan, indeks akan bergerak hingga menembus ke bawah level 3.200. [mdr]
sumber: inilah.com
Hari-hari ini, perhatian investor tersita pada pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Mereka berharap-harap cemas seraya bertanya-tanya, apakah pasar saham mulai mengalami reversal atau belum? Sikap meragu itu menunjukkan bahwa penguatan indeks yang berlangsung sejak kemarin belum membuat pelaku pasar pede untuk melakukan koleksi.
Adadua alasan yang mendasari muculnya sikap tersebut. Pertama, kendati telah menguat secara signifikan, IHSG belum menyentuh level psikologis yang diekspektasikan pasar. Seperti diketahui, sejumlah analis dan kepala riset, belum lama ini menyatakan tanda-tanda bullish, salah satunya terlihat jika indeks berhasil menembus level 3.550 selama beberapa hari.
Alasan lain yang tak kalah penting, tingginya tingkat inflasi tetap menjadi ancaman yang tidak bisa diremehkan. Untuk sementara, memang, persoalan ini bisa diatasi dengan dinaikkannya tingkat bunga acuan. Misalnya kalau jadi, awal Februari ini, otoritas moneter mengerek BI rate ke level 7% atau di atas tingkat inflasi yang 6,94%.
Namun, langkah ini juga memicu munculnya sejumlah dampak negatif terhadap bursa saham kendati naiknya suku bunga bunga akan mengundang investor asing lebih bersemangat untuk menyerbu surat-surat berharga seperti Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Selain itu, peningkatan tingkat bunga juga akan mengganggu bisnis sektor riil. Ini jelas berkaitan dengan usaha para emiten. Terutama perusahaan yang sensitif terhadap pergerakan bunga, seperti perbankan, properti dan otomotif.
Inflasi semakin dikhawatirkan ketika pemerintah memotong subsidi BBM, Maret mendatang. Walau aturan pemakaian BBM bersubsidi ini, untuk sementara hanya akan diterapkan di Jakarta dan sekitarnya, dampak negatifnya terhadap inflasi tetap besar.
Pengalaman di 2005, ketika Pemerintah SBY menaikkan harga BBM hingga dua kali bisa dijadikan cermin. Waktu itu, inflasi naik gila-gilaan, tingkat suku bunga pun langsung menyundul langit. Ujung-ujungnya, pasar saham pun banyak ditinggalkan investor.
“Makanya, jangan heran kalau koreksi yang cukup dalam masih akan terjadi hingga Maret mendatang,” kata seorang kepala riset di sebuah sekuritas asing. Ia memprediksikan, dalam rentang sebulan ke depan, indeks akan bergerak hingga menembus ke bawah level 3.200. [mdr]
sumber: inilah.com